Akhir-akhir ini gue sangat terberkati dengan sebuah buku yang
berjudul "Come Be My Light". Buku ini berisi perjalanan dan pergulatan
batin seorang Ibu Teresa semasa pelayanannya. Kerendahan hati dan kasih
sayang yang terpancar dari sosok Ibu Teresa ini membuat gue kagum.
Selain itu juga kesetiaannya terhadap panggilan-Nya walaupun sedang
berada di masa ujian juga membuat gue belajar bahwa kecintaan kepada
Tuhan akan membuat seseorang teguh terhadap panggilan-Nya. Gue belajar
banyak dari sosok ibu ini. Bukan kesempurnaan yang gue lihat, tapi
bagaimana Ibu Teresa ini menjalani hidupnya dengan perjuangan untuk
tetap berjalan di jalan Tuhan walaupun kegelapan ada di sekitarnya.
Berikut sedikit ulasan dari buku "Come Be My Light":
Menjelang peringatan 10 tahun meninggalnya Ibu Teresa, sebuah buku
berjudul Mother Teresa: Come Be My Light diterbitkan. Dalam buku berisi
kumpulan surat yang ditulis Ibu Teresa kepada relasinya selama 66 tahun
itu menyeruak pergumulan batinnya yang seolah-olah menjalani dua dunia.
Satu dunia tentang kasih, damai dan kemuliaan. Dunia yang lain tentang
perasaan gersang di mana Sang Kuasa telah pergi.
Berbeda
dengan peringatan 10 tahun meninggalnya Putri Diana yang dihadiri
ribuan orang terkenal akhir Agustus lalu, peringatan 10 tahun
meninggalnya Ibu Teresa dihadiri ribuan kaum papa, 5 September tahun
lalu. Ribuan orang yang datang bukan mendoakan dan mengenang sosok putri
istana yang bergelimang harta. Mereka mengenang seorang biarawati yang
mendedikasikan hidupnya kepada Tuhan dan kemanusiaan. “Ibu Teresa
membantu saya mendapatkan pekerjaan dan bertahan hidup saat tidak ada
yang bisa diharapkan dalam hidup saya,” kata Harihar Sahu, seorang
tunanetra.
Dalam terang cahaya lilin, ribuan orang berlutut
khidmat di depan makam Ibu Teresa di biara Ordo Misionaris Kasih Sayang
di Kolkata, India. Doa bersama lintas agama juga digelar. Pemuka umat
Islam, Hindu, dan Kristen membacakan ayat-ayat dari kitab suci
masing-masing dan berdoa untuk kerukunan. “Ibu Teresa mengajarkan
toleransi dan menunjukkan kepada kita tentang harmoni,” kata Maulana
Abdul Rahim, seorang ulama. “Sudah 10 tahun sejak ibu kita tercinta
meninggal dunia dan dia tetap bekerja dari atas sana,” kata Suster
Nirmala, penerus Ibu Teresa.
Dunia mengenalnya sebagai pendiri
organisasi kemanusiaan Missionary of Charity, berkembang dari seorang
wanita yang dianggap kehilangan akal sehat di Calcutta pada tahun 1948
menjadi sebuah mercusuar dunia yang menyuarakan kegiatan kemanusiaan. Ia
menjadi salah satu figur kemanusiaan terbesar dalam 100 tahun terakhir,
dimana kegiatan pelayanannya tampak sangat erat dengan kedekatannya
dengan Tuhan, yang begitu sering terlihat dalam kesunyian diri dan dalam
doa yang begitu damai. Namun, dalam buku terbaru berjudul Mother
Teresa: Come Be My Light menyeruak pergumulan batinnya yang seolah-olah
menjalani dua dunia. Satu dunia tentang kasih, damai dan kemuliaan.
Dunia yang lain tentang gurun gersang di mana Sang Kuasa telah pergi.
Buku
setebal 416 halaman ini merupakan kumpulan surat-surat antara Ibu
Teresa dengan pastur pengakuan dosa selama periode lebih dari 66 tahun.
Surat-surat tersebut, yang sebagian disimpan walau tidak sesuai dengan
permintaan Ibu Teresa (Ibu Teresa telah meminta agar surat-suratnya
dimusnahkan tetapi ditolak oleh otoritas gereja), mengungkapkan bahwa
pada paruh terakhir dari hampir separuh abad hidupnya, Ibu Teresa tidak
merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya - atau, sebagaimana ditulis
oleh editor dan penghimpun surat-surat untuk buku tersebut, Pendeta
Brian Kolodiejchuk, “[Teresa tidak merasakan-Nya] baik dalam hatinya
maupun dalam ekaristi”.
Dalam sebuah surat kepada seorang rekan
spiritualnya, Pendeta Michael Van Der Peet yang ditulis tiga bulan
sebelum ia menerima Nobel Perdamaian, Ibu Teresa menyatakan Kristus yang
tidak hadir. “Yesus memiliki rasa cinta yang sangat khusus padamu,”
ujar Ibu Teresa kepada Van Der Peet. “[Tapi] untukku – kesunyian dan
kehampaan begitu besar – aku memandang tapi tidak melihat, mendengarkan
tetapi tidak mendengar [apapun] – lidahku bergetar [dalam doa] tetapi
tidak berucap sepatah kata pun… Aku ingin kau berdoa untukku, bahwa aku
membiarkan-Nya memiliki tangan yang bebas.”
Dalam
surat-surat yang lain, Ibu Teresa juga menguraikan pergumulan batinnya.
“Di mana imanku? Bahkan jauh di dalam tidak ada apa-apa selain
kekosongan. Jika [memang] ada Tuhan — tolong ampuni aku.” Ini merupakan
perkataan Ibu Teresa sejenak setelah pelajarannya di tempat kumuh di
Calcutta dimulai. “Buat apa aku berkarya? Jika tidak ada Tuhan, [maka]
tidak bisa ada jiwa. Jika tidak ada jiwa maka, Yesus, Engkau juga tidak
benar [‘tidak ada’]”. “Aku diberitahu bahwa Tuhan hidup di dalam aku -
namun realitas dari kegelapan dan kedinginan dan kekosongan begitu dalam
sehingga tidak ada apapun yang menyentuh jiwaku.” “Aku ingin Tuhan
dengan semua kekuatan jiwaku - namun di antara kita ada keterpisahan
yang mengerikan.”
Perasaan akan hilangnya Tuhan dalam hidup Ibu
Teresa tampaknya bermula sejak ia mulai melayani kaum miskin di
Calcutta, dan – kecuali untuk suatu masa 5 minggu pada tahun 1959,
perasaan itu tidak pernah berhenti. Meskipun acapkali tampak gembira di
depan publik, Ibu Teresa, seperti tersirat dalam surat-suratnya, hidup
dalam penderitaan yang dalam tiada henti. Dalam lebih dari 40 surat yang
belum pernah dipublikasikan, Ibu Teresa mengeluh akan “kekeringan”,
“kegelapan”, “kesepian” dan “siksaan” yang dialaminya. Ia membandingkan
penderitaannya dengan alam neraka, dan pada suatu titik telah membuatnya
ragu akan keberadaan surga, bahkan Tuhan. Ibu Teresa sangat menyadari
kesenjangan antara keadaan dirinya dengan di hadapan publik. “Senyum
itu”, menurut Ibu Teresa, “adalah sebuah topeng atau sebuah jubah yang
menutupi segalanya”. Demikian pula, ia sering kali mempertanyakan
dirinya apakah ia sedang menipu diri dengan kata-kata. “Aku berucap
seolah-olah hatiku sangat penuh cinta kepada Tuhan – cinta yang begitu
halus dan pribadi”, ia menjelaskan kepada seorang penasihat. “Jika anda
berada [di sana], anda akan berkata, ‘begitu munafik’.”
Buku
terbitan Doubleday ini bukanlah dibuat oleh orang yang tidak religius
dan mencari-cari kelemahan seseorang. Kolodiejchuk, anggota senior
Missionary of Charity, adalah Postulator (Postulator adalah seseorang
yang mengajukan orang lain untuk dinyatakan sebagai Santo dalam Gereja
Katolik), yang bertanggung jawab atas petisi untuk pengangkatan Ibu
Teresa sebagai Santa dan mengumpulkan materi pendukung. Sejauh ini, Ibu
Teresa telah dinyatakan terberkati, satu langkah sebelum menjadi Santa.
Surat-surat tersebut dikumpulkan dalam rangka proses tersebut.
Menanggapi isi surat Ibu Teresa itu, Kolodiejchuk melihatnya dalam
konteks ‘kegelapan dalam iman’. Ibu Teresa menemukan jalan, dimulai
sejak awal tahun 1960, untuk hidup bersama hal itu, dan tidak
mengabaikan kepercayaannya maupun pekerjaannya. Ia tetap bangun
pagi-pagi pukul 4:30 untuk berdoa dan tetap menulis kepada-Nya,
”Sukacita-Mu, hanya itu yang aku inginkan.” Kolodiejchuk menunjukkan
bahwa buku tersebut merupakan bukti akan kegigihan yang diisi oleh iman,
yang menurutnya, adalah tindakan Ibu Teresa yang paling heroik.
Mother
Teresa: Tahun 1997 saat kematiannya, pelayanannya sudah menyebar di 123
negara dengan 610 misi termasuk menyediakan rumah bagi yatim piatu,
pasien HIV/AIDS dan penderita kusta.
‘Kegelapan dalam iman’ yang
dirasakan oleh Ibu Teresa ini pernah juga dialami oleh orang-orang Kudus
lainnya seperti St. Yohanes dari Salib yang memberi istilah
pengalamannya ‘Dark Night of the Soul’. Clive Staple Lewis atau C.S.
Lewis, seorang Protestant yang terkenal juga menyadari kebenaran yang
sama. Lewis mengungkapkan pemahamannya akan masa ‘kegelapan dalam iman’
ini dalam bukunya The Screwtape Letters. Dalam buku ini tertulis sebuah
pesan bahwa tidak ada yang lebih berbahaya bagi pencapaian tujuan para
iblis dibanding ketika seorang manusia masih melakukan kehendak musuh
mereka (Tuhan) padahal si manusia tidak ingin untuk melakukannya. Juga
ketika seorang manusia yang tidak merasakan Tuhan di semesta ini dan
merasa ditinggalkan, tetap mematuhi kehendak-Nya. Ini artinya, ketika
manusia mengalami masa seperti itu, maka sang manusia berada dalam taraf
spiritual yang tinggi.
Berbagai tanggapan muncul tentang isi
dari surat-surat Ibu Teresa itu. Namun, satu komentar yang menarik
datang dari Pendeta James Martin, editor majalah Jesuit. Ia berpendapat
buku tersebut sebagai bentuk pelayanan baru dari Bunda Teresa, ‘sebuah
pelayanan dari bagian dalam kehidupannya’, dan mengatakan, “Buku ini
akan diingat sama pentingnya dengan pelayanannya bagi kaum miskin. Buku
ini akan menjadi bentuk pelayanan bagi orang-orang yang mengalami
keraguan, ketidakhadiran Tuhan dalam hidup mereka. Dan tahukah anda
siapa mereka? Kita semua. Orang Ateis, orang yang ragu, pencari, orang
yang percaya, semua orang.”
Buku yang memuat surat-surat Ibu
Teresa ini jelas memberikan suatu pemahaman bahwa di balik pelayanannya
kepada kaum papa, ada pergumulan batin yang tak tertahankan,
keragu-raguan, kekosongan, dan kegelapan hingga pengalaman kepastian dan
“kemuliaan” dalam cinta, ilahi dan manusia