Pages

Thursday, December 22, 2011

Come Be My Light - Mother Teresa

Akhir-akhir ini gue sangat terberkati dengan sebuah buku yang berjudul "Come Be My Light". Buku ini berisi perjalanan dan pergulatan batin seorang Ibu Teresa semasa pelayanannya. Kerendahan hati dan kasih sayang yang terpancar dari sosok Ibu Teresa ini membuat gue kagum. Selain itu juga kesetiaannya terhadap panggilan-Nya walaupun sedang berada di masa ujian juga membuat gue belajar bahwa kecintaan kepada Tuhan akan membuat seseorang teguh terhadap panggilan-Nya. Gue belajar banyak dari sosok ibu ini. Bukan kesempurnaan yang gue lihat, tapi bagaimana Ibu Teresa ini menjalani hidupnya dengan perjuangan untuk tetap berjalan di jalan Tuhan walaupun kegelapan ada di sekitarnya.


Berikut sedikit ulasan dari buku "Come Be My Light":
Menjelang peringatan 10 tahun meninggalnya Ibu Teresa, sebuah buku berjudul Mother Teresa: Come Be My Light diterbitkan. Dalam buku berisi kumpulan surat yang ditulis Ibu Teresa kepada relasinya selama 66 tahun itu menyeruak pergumulan batinnya yang seolah-olah menjalani dua dunia. Satu dunia tentang kasih, damai dan kemuliaan. Dunia yang lain tentang perasaan gersang di mana Sang Kuasa telah pergi.

Berbeda dengan peringatan 10 tahun meninggalnya Putri Diana yang dihadiri ribuan orang terkenal akhir Agustus lalu, peringatan 10 tahun meninggalnya Ibu Teresa dihadiri ribuan kaum papa, 5 September tahun lalu. Ribuan orang yang datang bukan mendoakan dan mengenang sosok putri istana yang bergelimang harta. Mereka mengenang seorang biarawati yang mendedikasikan hidupnya kepada Tuhan dan kemanusiaan. “Ibu Teresa membantu saya mendapatkan pekerjaan dan bertahan hidup saat tidak ada yang bisa diharapkan dalam hidup saya,” kata Harihar Sahu, seorang tunanetra.

Dalam terang cahaya lilin, ribuan orang berlutut khidmat di depan makam Ibu Teresa di biara Ordo Misionaris Kasih Sayang di Kolkata, India. Doa bersama lintas agama juga digelar. Pemuka umat Islam, Hindu, dan Kristen membacakan ayat-ayat dari kitab suci masing-masing dan berdoa untuk kerukunan. “Ibu Teresa mengajarkan toleransi dan menunjukkan kepada kita tentang harmoni,” kata Maulana Abdul Rahim, seorang ulama. “Sudah 10 tahun sejak ibu kita tercinta meninggal dunia dan dia tetap bekerja dari atas sana,” kata Suster Nirmala, penerus Ibu Teresa.

Dunia mengenalnya sebagai pendiri organisasi kemanusiaan Missionary of Charity, berkembang dari seorang wanita yang dianggap kehilangan akal sehat di Calcutta pada tahun 1948 menjadi sebuah mercusuar dunia yang menyuarakan kegiatan kemanusiaan. Ia menjadi salah satu figur kemanusiaan terbesar dalam 100 tahun terakhir, dimana kegiatan pelayanannya tampak sangat erat dengan kedekatannya dengan Tuhan, yang begitu sering terlihat dalam kesunyian diri dan dalam doa yang begitu damai. Namun, dalam buku terbaru berjudul Mother Teresa: Come Be My Light menyeruak pergumulan batinnya yang seolah-olah menjalani dua dunia. Satu dunia tentang kasih, damai dan kemuliaan. Dunia yang lain tentang gurun gersang di mana Sang Kuasa telah pergi.

Buku setebal 416 halaman ini merupakan kumpulan surat-surat antara Ibu Teresa dengan pastur pengakuan dosa selama periode lebih dari 66 tahun. Surat-surat tersebut, yang sebagian disimpan walau tidak sesuai dengan permintaan Ibu Teresa (Ibu Teresa telah meminta agar surat-suratnya dimusnahkan tetapi ditolak oleh otoritas gereja), mengungkapkan bahwa pada paruh terakhir dari hampir separuh abad hidupnya, Ibu Teresa tidak merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya - atau, sebagaimana ditulis oleh editor dan penghimpun surat-surat untuk buku tersebut, Pendeta Brian Kolodiejchuk, “[Teresa tidak merasakan-Nya] baik dalam hatinya maupun dalam ekaristi”.

Dalam sebuah surat kepada seorang rekan spiritualnya, Pendeta Michael Van Der Peet yang ditulis tiga bulan sebelum ia menerima Nobel Perdamaian, Ibu Teresa menyatakan Kristus yang tidak hadir. “Yesus memiliki rasa cinta yang sangat khusus padamu,” ujar Ibu Teresa kepada Van Der Peet. “[Tapi] untukku – kesunyian dan kehampaan begitu besar – aku memandang tapi tidak melihat, mendengarkan tetapi tidak mendengar [apapun] – lidahku bergetar [dalam doa] tetapi tidak berucap sepatah kata pun… Aku ingin kau berdoa untukku, bahwa aku membiarkan-Nya memiliki tangan yang bebas.”

Dalam surat-surat yang lain, Ibu Teresa juga menguraikan pergumulan batinnya. “Di mana imanku? Bahkan jauh di dalam tidak ada apa-apa selain kekosongan. Jika [memang] ada Tuhan — tolong ampuni aku.” Ini merupakan perkataan Ibu Teresa sejenak setelah pelajarannya di tempat kumuh di Calcutta dimulai. “Buat apa aku berkarya? Jika tidak ada Tuhan, [maka] tidak bisa ada jiwa. Jika tidak ada jiwa maka, Yesus, Engkau juga tidak benar [‘tidak ada’]”. “Aku diberitahu bahwa Tuhan hidup di dalam aku - namun realitas dari kegelapan dan kedinginan dan kekosongan begitu dalam sehingga tidak ada apapun yang menyentuh jiwaku.” “Aku ingin Tuhan dengan semua kekuatan jiwaku - namun di antara kita ada keterpisahan yang mengerikan.”

Perasaan akan hilangnya Tuhan dalam hidup Ibu Teresa tampaknya bermula sejak ia mulai melayani kaum miskin di Calcutta, dan – kecuali untuk suatu masa 5 minggu pada tahun 1959, perasaan itu tidak pernah berhenti. Meskipun acapkali tampak gembira di depan publik, Ibu Teresa, seperti tersirat dalam surat-suratnya, hidup dalam penderitaan yang dalam tiada henti. Dalam lebih dari 40 surat yang belum pernah dipublikasikan, Ibu Teresa mengeluh akan “kekeringan”, “kegelapan”, “kesepian” dan “siksaan” yang dialaminya. Ia membandingkan penderitaannya dengan alam neraka, dan pada suatu titik telah membuatnya ragu akan keberadaan surga, bahkan Tuhan. Ibu Teresa sangat menyadari kesenjangan antara keadaan dirinya dengan di hadapan publik. “Senyum itu”, menurut Ibu Teresa, “adalah sebuah topeng atau sebuah jubah yang menutupi segalanya”. Demikian pula, ia sering kali mempertanyakan dirinya apakah ia sedang menipu diri dengan kata-kata. “Aku berucap seolah-olah hatiku sangat penuh cinta kepada Tuhan – cinta yang begitu halus dan pribadi”, ia menjelaskan kepada seorang penasihat. “Jika anda berada [di sana], anda akan berkata, ‘begitu munafik’.”

Buku terbitan Doubleday ini bukanlah dibuat oleh orang yang tidak religius dan mencari-cari kelemahan seseorang. Kolodiejchuk, anggota senior Missionary of Charity, adalah Postulator (Postulator adalah seseorang yang mengajukan orang lain untuk dinyatakan sebagai Santo dalam Gereja Katolik), yang bertanggung jawab atas petisi untuk pengangkatan Ibu Teresa sebagai Santa dan mengumpulkan materi pendukung. Sejauh ini, Ibu Teresa telah dinyatakan terberkati, satu langkah sebelum menjadi Santa. Surat-surat tersebut dikumpulkan dalam rangka proses tersebut. Menanggapi isi surat Ibu Teresa itu, Kolodiejchuk melihatnya dalam konteks ‘kegelapan dalam iman’. Ibu Teresa menemukan jalan, dimulai sejak awal tahun 1960, untuk hidup bersama hal itu, dan tidak mengabaikan kepercayaannya maupun pekerjaannya. Ia tetap bangun pagi-pagi pukul 4:30 untuk berdoa dan tetap menulis kepada-Nya, ”Sukacita-Mu, hanya itu yang aku inginkan.” Kolodiejchuk menunjukkan bahwa buku tersebut merupakan bukti akan kegigihan yang diisi oleh iman, yang menurutnya, adalah tindakan Ibu Teresa yang paling heroik.

Mother Teresa: Tahun 1997 saat kematiannya, pelayanannya sudah menyebar di 123 negara dengan 610 misi termasuk menyediakan rumah bagi yatim piatu, pasien HIV/AIDS dan penderita kusta.

‘Kegelapan dalam iman’ yang dirasakan oleh Ibu Teresa ini pernah juga dialami oleh orang-orang Kudus lainnya seperti St. Yohanes dari Salib yang memberi istilah pengalamannya ‘Dark Night of the Soul’. Clive Staple Lewis atau C.S. Lewis, seorang Protestant yang terkenal juga menyadari kebenaran yang sama. Lewis mengungkapkan pemahamannya akan masa ‘kegelapan dalam iman’ ini dalam bukunya The Screwtape Letters. Dalam buku ini tertulis sebuah pesan bahwa tidak ada yang lebih berbahaya bagi pencapaian tujuan para iblis dibanding ketika seorang manusia masih melakukan kehendak musuh mereka (Tuhan) padahal si manusia tidak ingin untuk melakukannya. Juga ketika seorang manusia yang tidak merasakan Tuhan di semesta ini dan merasa ditinggalkan, tetap mematuhi kehendak-Nya. Ini artinya, ketika manusia mengalami masa seperti itu, maka sang manusia berada dalam taraf spiritual yang tinggi.

Berbagai tanggapan muncul tentang isi dari surat-surat Ibu Teresa itu. Namun, satu komentar yang menarik datang dari Pendeta James Martin, editor majalah Jesuit. Ia berpendapat buku tersebut sebagai bentuk pelayanan baru dari Bunda Teresa, ‘sebuah pelayanan dari bagian dalam kehidupannya’, dan mengatakan, “Buku ini akan diingat sama pentingnya dengan pelayanannya bagi kaum miskin. Buku ini akan menjadi bentuk pelayanan bagi orang-orang yang mengalami keraguan, ketidakhadiran Tuhan dalam hidup mereka. Dan tahukah anda siapa mereka? Kita semua. Orang Ateis, orang yang ragu, pencari, orang yang percaya, semua orang.”

Buku yang memuat surat-surat Ibu Teresa ini jelas memberikan suatu pemahaman bahwa di balik pelayanannya kepada kaum papa, ada pergumulan batin yang tak tertahankan, keragu-raguan, kekosongan, dan kegelapan hingga pengalaman kepastian dan “kemuliaan” dalam cinta, ilahi dan manusia

0 comments:

Post a Comment

 

Blog Template by YummyLolly.com - Sponsored by Free Web Space